MINIWEB — Jakarta – Media Korea Utara kembali menjadi sorotan setelah menyensor laga Paris Saint-Germain (PSG) di Piala Dunia Antarklub 2025. Gol dari pemain asal Korea Selatan, Lee Kang-in, tidak ditampilkan secara utuh.
Pertandingan PSG melawan Atletico Madrid baru disiarkan lima hari setelah laga berakhir. Laga tersebut berlangsung di Rose Bowl, Los Angeles.
PSG meraih kemenangan telak 4-0, dan Lee Kang-in mencetak gol keempat lewat penalti. Namun, dalam tayangan versi Pyongyang, wajah dan nomor punggung Lee disamarkan secara digital.
Kejadian ini memperlihatkan betapa kuatnya kendali pemerintah terhadap informasi yang disampaikan ke publik. Prestasi atlet Korea Selatan kerap disembunyikan dari tayangan resmi.
Rezim Tak Akui Keberhasilan Atlet Korsel
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5261856/original/058986700_1750719967-AP25166765054826.jpg)
Salah satu momen yang disorot terjadi di menit ke-97 saat Lee Kang-in mencetak gol lewat titik putih. Tayangan dari Korean Central Television (KCTV) tidak menampilkan wajah maupun identitas Lee secara jelas.
Tidak ada penyebutan nama ataupun kebangsaan sang pemain. Penyiar hanya menyebut PSG menang, tanpa menjelaskan siapa saja pencetak golnya.
Sensor seperti ini bukan hal baru dalam siaran olahraga Korea Utara. Mereka cenderung menyunting tayangan apabila melibatkan atlet asal Korea Selatan, termasuk bintang seperti Son Heung-min atau Hwang Hee-chan.
Bahkan dalam tayangan Piala Dunia 2022 dan Piala Asia Wanita U-17 tahun lalu, KCTV juga menyamarkan bendera Korea Selatan dan menyebut tim lawan sebagai “skuad boneka Korea Selatan.”
Narasi Dibentuk Sepihak oleh Pemerintah
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5254931/original/061711000_1750145031-AP25166720204007.jpg)
Media di Korea Utara dikendalikan sepenuhnya oleh Partai Buruh. Setiap tayangan, termasuk siaran olahraga, digunakan untuk memperkuat narasi ideologis pemerintah.
Tujuannya adalah menjaga citra nasional dan membatasi pengaruh luar. Keberhasilan negara tetangga seperti Korea Selatan dianggap berpotensi merusak propaganda yang dibangun.
Pada tahun 2010, rakyat Korea Utara bahkan diberi informasi bahwa Portugal memenangkan Piala Dunia, bukan Spanyol. Hal ini dilakukan untuk menyokong narasi bahwa Korea Utara tersingkir oleh “juara dunia.”
Dengan menyensor Lee Kang-in, rezim Korea Utara tampaknya tidak sekadar menulis ulang sejarah. Mereka juga secara aktif menghapus pencapaian negara tetangganya dari pandangan rakyatnya.